JAKARTA, halopadang.id– Pemerintah memiliki ambisi besar dalam menjadikan Indonesia sebagai pusat Carbon Capture and Storage (CCS) di kawasan Asia. CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menangkap emisi karbon dioksida (CO2).
Dengan kemampuan penyimpanan karbon sebesar 577 gigaton, Indonesia dianggap mampu menjadi aktor utama dalam perubahan iklim secara global, sekaligus sebagai penggerak ekonomi hijau di kawasan.
Wakil Menteri Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan, menyatakan bahwa kapasitas penyerapan karbon global perlu ditingkatkan sebanyak 33 kali lipat dari tingkat saat ini pada tahun 2035, agar sesuai dengan tujuan iklim global. Angka tersebut didasarkan pada analisis Rystad Energy.
Dalam konteks tersebut, Indonesia memiliki kemampuan penyimpanan karbon sebesar 577 gigaton, yang menempatkannya sebagai negara keempat terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Rusia.
Artinya, Indonesia memiliki peran penting dalam mencari solusi global dengan kemampuan menyimpan karbon hingga 200 tahun, yang cukup untuk menyerap emisi dari dalam negeri maupun negara sekitar, menjadikan Indonesia sebagai pusat CCS di Asia.
“Potensi besar ini merupakan bagian dari prioritas nasional dalam mempercepat proses dekarbonisasi,” kata Nurul saat acara CCS Forum 2025 di Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).
Selanjutnya, Presiden Prabowo Subianto menetapkan target pencapaian Net Zero Emission (NZE) lebih dini, yaitu pada tahun 2050. Meskipun secara resmi Indonesia berkomitmen mencapai NZE pada 2060.
Nurul mencatat, komitmen Indonesia terhadap masa depan energi bersih tidak hanya sekadar wacana, tetapi telah diwujudkan dengan tindakan nyata. Salah satunya melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 mengenai Carbon Capture and Storage, yang menjadi landasan hukum dan operasional dalam pengembangan CCS di negara ini.
Aturan ini membuka dua jalur perkembangan: di kawasan kerja minyak dan gas bumi yang sudah ada serta di kawasan baru yang khusus digunakan untuk penyimpanan karbon.
Pemerintah sedang menyiapkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang baru, yang akan mengubah perspektif terhadap karbon, di mana karbon tidak lagi dianggap sebagai limbah, tetapi sebagai sumber daya bernilai ekonomi.
Kemudian, karbon akan dibagi menjadi dua jenis: karbon yang tersimpan di bawah permukaan tanah dan karbon yang bisa digunakan kembali oleh sektor industri.
Pemerintah menetapkan bahwa 70 persen dari kapasitas penyimpanan CCS harus dialokasikan untuk karbon dalam negeri, sedangkan 30 persen sisanya dapat digunakan untuk karbon yang berasal dari luar negeri melalui kerja sama bilateral dan investasi asing.
Kebijakan ini diharapkan tidak hanya berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga memberikan kesempatan baru bagi perekonomian. CCS dianggap mampu melahirkan industri perdagangan karbon, menciptakan lapangan kerja, menarik investasi besar, serta memperkuat posisi Indonesia sebagai penggerak ekonomi hijau di Asia.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan dasar jangka panjang melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2025 mengenai Kebijakan Energi Nasional, yang memaksa seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil untuk menerapkan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) paling lambat pada tahun 2060.
Tindakan tersebut didukung oleh sumber daya alam yang melimpah, menjadi fondasi dari hilirisasi dan peralihan energi. Indonesia tercatat sebagai produsen utama berbagai komoditas strategis global seperti nikel, minyak sawit, karet, hingga bauksit, yang memiliki peran penting dalam rantai pasok energi bersih dunia.
“Kami melakukan tindakan berani menuju perekonomian hijau, dengan potensi energi terbarukan mencapai 3.700 gigawatt, yang meliputi tenaga surya, angin, air, pasang surut, bioenergi, dan panas bumi. Namun kapasitas yang telah terpasang saat ini hanya 15,2 gigawatt, kurang dari 1 persen dari potensi tersebut,” ujar Nurul.
Dengan menggabungkan CCS, peralihan energi, dan pengolahan sumber daya alam, pemerintah yakin Indonesia tidak hanya akan mencapai kemandirian energi bersih, tetapi juga menjadi pusat inovasi dan investasi hijau di Asia.