Puncak Emisi Energi Mundur, IESR Ungkap Dampaknya

Pemerintah memperkirakan, puncak emisi gas rumah kaca (GRK) untuk sektor energi tidak akan terjadi pada tahun 2030 mendatang. Puncak emisi sektor ini tertunda dari target yang ditetapkan untuk mencapainet zero emission 2060 nanti.

Dengan sedih hati, kami sampaikan bahwapeak emission sedikit berpindah ke 2035,” ujar Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, dalam paparannya di Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Jakarta, Senin (6/10).

Hal ini juga telah diungkapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sektor energi masih mengalami kenaikan emisi gas rumah kaca pada tahun 2035, sedangkan KLH memprediksi bahwa puncaknya akan terjadi pada 2038.

Lembaga Reformasi Layanan Essensial (IESR) menggambarkan perubahan ini sebagai penurunan komitmen. Akibatnya, penurunan emisi akan terjadi lebih signifikan, mengingat semakin mendekati target tahun 2060.

  • RI Tidak Cepat Perbarui Target Emisi, Kredibilitas Upaya Pengurangan Perubahan Iklim Dipertanyakan
  • Investor Global Meminta Uni Eropa Tidak Mengendurkan Aturan Emisi Metana
  • PBB ESCAP: Banyak Negara di Asia-Pasifik Belum Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Kebutuhan Investasi untuk Mengurangi Emisi Menjadi Lebih Besar

Menurut CEO IESR Fabby Tumiwa, upaya mengurangi emisi dalam jangka waktu yang singkat akan meningkatkan kebutuhan dana investasi. Hal ini karena semakin banyak langkah yang harus diambil dalam waktu yang terbatas.

Perubahan ini juga menyebabkan target Indonesia tidak sejalan dengan target Paris Agreement, yang menuntut pencapaian puncak emisi pada 2030.

Hasil penelitian IESR menunjukkan bahwa jika puncak emisi dicapai pada tahun 2030, proporsi energi terbarukan pada saat itu akan mencapai 40%. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 yang ditetapkan bulan September lalu, target bauran energi baru terbarukan hanya sebesar 19-23%.

“Ini masih di bawah target Paris,” kata Fabby,

Memperpanjang waktu sebelum mencapai puncak emisi, berarti memberikan tambahan waktu bagi operasional.energi fosil. Di sisi lain, infrastruktur energi ini memiliki masa pakai ekonomis. Fabby memberikan contoh dengan kilang minyak BBM, yang baru menjadi menguntungkan setelah 40-50 tahun beroperasi.

“Pertanyaannya, kira-kira ada demand bukan setelah 20 tahun dibangun? Kembali modal, belum menghasilkan keuntungan, tetapi permintaannya sudah menurun,” jelasnya.

Risikonya, muncul potensi stranded asset atau aset yang terbuang. Artinya, nilai ekonomi dari aset tersebut akan hilang, termasuk akibat perubahan kebijakan dan menurunnya permintaan. Hal ini menyebabkan transisi energi semakin meningkat biayanya.