Penulis: Muhammad Isnaini
(Pengamat Pendidikan dan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi)
UIN Raden Fatah Palembang)
Dalam tengah percepatan perubahan teknologi yang semakin pesat, dunia pendidikan menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Berbagai perkembangan seperti kecerdasan buatan, pembelajaran online, serta platform media sosial telah mengubah metode pengajaran guru dan cara siswa belajar.
Namun, di balik kemudahan dan kecepatan akses informasi, muncul kekhawatiran yang semakin meningkat, apakah pendidikan masih mampu membentuk nilai-nilai moral dan karakter yang kuat di tengah derasnya arus digital?
Pendidikan sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan penyampaian ilmu, tetapi juga membentuk manusia yang utuh.
Prinsip-prinsip seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, disiplin, serta perhatian terhadap masyarakat merupakan inti dari proses pembelajaran.
Ki Hajar Dewantara pernah menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha untuk membimbing segala potensi alami anak agar mereka dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan sebesar-besarnya, sebagai individu maupun anggota masyarakat. Oleh karena itu, jika pendidikan kehilangan makna nilai-nilainya, maka sesungguhnya ia kehilangan tujuan.
Perkembangan teknologi di bidang pendidikan bukanlah hal yang perlu ditentang. Justru, alat ini mampu menjadi sarana yang sangat efektif untuk memperluas cakupan pembelajaran dan menghasilkan pengalaman belajar yang lebih hidup.
Namun, teknologi juga memiliki bahaya, yaitu dapat memisahkan hubungan antara guru dan siswa, menggantikan komunikasi yang hangat dengan layar, serta mendukung budaya instan yang cenderung mengurangi pemikiran moral.
Di lingkungan digital yang terbuka, siswa dihadapkan pada berbagai informasi tanpa adanya pengawasan nilai yang memadai. Di sinilah ujian bagi pendidikan berbasis nilai dilakukan.
Tokoh-tokoh seperti Thomas Lickona (1991) menekankan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu proses yang terencana dan terstruktur dalam mengembangkan nilai-nilai etika.
Hal ini tidak terjadi secara otomatis atau hanya melalui pembelajaran di kelas. Ia memerlukan contoh teladan, latihan berulang, serta partisipasi aktif siswa dalam pengalaman-pengalaman yang membentuk kepribadian mereka.
Jika proses ini tidak disesuaikan dengan lingkungan digital, maka pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman.
Apakah masih mungkin untuk menanamkan nilai-nilai dalam tengah derasnya arus teknologi?
Jawabannya tidak hanya mungkin, tetapi wajib. Kuncinya terletak pada kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat. Yang menentukan arah adalah manusia yang memanfaatkannya.
Guru memainkan peran utama sebagai contoh teladan etis, baik dalam kelas nyata maupun virtual.
Sistem kurikulum perlu mampu menyisipkan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam setiap materi dan cara penyampaian pembelajaran, termasuk dalam pendekatan pembelajaran yang berbasis digital.
Teknologi perlu digunakan untuk memperkuat hubungan, menciptakan ruang untuk merefleksikan diri, serta mendorong kerja sama yang bertanggung jawab.
Pendidikan yang berlandaskan nilai tidak boleh dibiarkan terabaikan hanya karena tantangan teknologi. Justru pada masa perkembangan ini, nilai-nilai menjadi pondasi yang mempertahankan kemanusiaan kita.
Saat dunia berubah dengan cepat, pendidikan perlu memastikan bahwa anak-anak kita tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga ketangguhan dalam hal moral.
Masa depan tidak hanya dimiliki oleh mereka yang menguasai teknologi, tetapi juga oleh orang-orang yang selalu menjaga hati nurani dalam setiap tindakannya.
Apakah pendidikan masih bisa menumbuhkan nilai-nilai etika dan kepribadian yang kuat di tengah derasnya arus teknologi digital?
Pertanyaan ini menggambarkan kecemasan serta harapan yang kita miliki terhadap masa depan kalangan pemuda.
Di sisi lain, arus digital memberikan kesempatan besar dalam memperluas akses terhadap informasi, mendorong inovasi, serta mempercepat proses belajar.
Namun di sisi lain, ia juga menyimpan tantangan berat seperti gangguan perhatian, masalah identitas, serta melemahnya pengawasan sosial terhadap tindakan siswa.
Budaya cepat saji, hedonisme dalam dunia digital, bullying online, serta krisis empati merupakan realitas yang muncul akibat perubahan cara berinteraksi di masa kini.
Namun, menjawab pertanyaan tersebut dengan optimisme tidak berarti mengabaikan kerumitannya.
Pendidikan masih mungkin, bahkan wajib, menjadi tempat yang efektif dalam menanamkan nilai, selama mampu berubah secara cerdas dan fleksibel.
Lembaga pendidikan dan sekolah harus menyusun metode pengajaran yang menggabungkan aspek kognitif, emosional, dan spiritual.
Bahan ajar tidak cukup hanya berisi konsep etika, tetapi harus menyediakan pengalaman nyata, reflektif, dan relevan dengan kehidupan digital peserta didik. Di sinilah fungsi penting guru sebagai pembimbing nilai semakin menonjol.
Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga sebagai pembimbing dalam pembentukan kepribadian yang mampu menjadi contoh teladan, memandu diskusi etika, serta menciptakan lingkungan yang nyaman bagi siswa untuk mengekspresikan diri dan melakukan refleksi.
Di dunia digital, guru juga harus hadir di ruang-ruang virtual, menunjukkan bahwa sikap etis dan kesopanan tidak hanya berlaku dalam kehidupan nyata, tetapi juga di dunia online.
Kehadiran guru sebagai contoh teladan yang konsisten dan tulus dapat memperkuat nilai-nilai integritas pada diri siswa.
Kunci keberhasilan pendidikan yang berlandaskan nilai pada masa digital tidak terletak pada alat teknologi itu sendiri, melainkan pada kesadaran bersama seluruh pihak terkait dalam pendidikan, yaitu guru, orang tua, pengambil kebijakan, dan masyarakat, untuk menjadikan nilai sebagai dasar yang tidak dapat dikompromikan.
Jika nilai-nilai tetap dipelihara dan ditanamkan secara terus-menerus, maka teknologi justru akan menjadi alat yang memperkuat pengembangan karakter, bukan merusaknya.
Maka jawabannya jelas pendidikan masih mampu menanamkan nilai-nilai moral dan karakter yang kokoh selama kita tidak kehilangan arah dan komitmen terhadap esensi kemanusiaan dalam proses mendidik.
Namun, usaha untuk menanamkan nilai-nilai di tengah arus perkembangan teknologi ini tidak dapat dilakukan secara mendadak.
Dibutuhkan pendekatan yang terstruktur, mulai dari penyusunan kurikulum, pelatihan tenaga pendidik, hingga penguatan budaya sekolah.
Sistem kurikulum yang hanya berisi materi nilai secara teori, tanpa diikuti metode penerapan, akan berujung pada wacana yang tidak bermakna.
Oleh karena itu, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), studi kasus, diskusi reflektif, serta pemanfaatan teknologi dalam simulasi sosial perlu diperkenalkan agar siswa dapat mengalami langsung situasi yang memerlukan pengambilan keputusan etis.
Analisis ini juga mengajak kita untuk tidak takut terhadap teknologi, tetapi memanfaatkannya dengan kesadaran dan pemikiran yang kritis.
Di tengah perkembangan teknologi, banyak platform yang bisa dimanfaatkan untuk memperkuat nilai-nilai penting, seperti podcast yang mengupas topik etika, video cerita yang berdasarkan kisah nyata yang memotivasi, atau permainan edukatif yang menekankan pada keputusan-keputusan yang berlandaskan integritas.
Meskipun di media sosial, nilai-nilai kebaikan dapat menyebar jika guru dan siswa sama-sama memiliki kemampuan literasi digital serta etika bermedia yang baik.
Teknologi dapat menjadi wadah komunikasi yang baru, bukan hanya sekadar tempat menunjukkan keberadaan.
Selanjutnya, pendidikan yang berlandaskan nilai pada masa digital juga perlu memperhatikan konteks sosial dan budaya setempat.
Pandangan bijak dan kepercayaan agama yang telah melekat dalam masyarakat perlu ditingkatkan serta disesuaikan dengan bahasa digital agar tidak terkikis oleh arus global yang monoton dan dangkal.
Sebagai contoh, prinsip gotong royong, sopan santun, tanggung jawab, dan toleransi bisa diwujudkan dalam konten digital yang menarik dan gampang diakses oleh kalangan muda.
Tantangan dalam dunia teknologi digital perlu dihadapi dengan inovasi, bukan dengan menolaknya.
Sistem pendidikan harus menganggap teknologi sebagai mitra dalam membentuk kepribadian, bukan sebagai ancaman.
Maka selama terdapat komitmen dari para guru, kebijakan yang mendukung, serta budaya sekolah yang positif, nilai-nilai moral dan karakter tidak hanya bisa ditanamkan, tetapi justru dapat diperkuat di tengah arus teknologi yang semakin deras.
Akhirnya, pendidikan yang berlandaskan nilai di tengah perkembangan teknologi bukanlah hal yang tidak mungkin. Justru pada kondisi seperti ini, pendidikan nilai semakin penting dan mendesak.
Teknologi memang membawa banyak perubahan, namun ia bukan faktor utama yang menentukan arah perkembangan siswa, manusia tetap yang mengendalikannya. Oleh karena itu, pendidikan perlu terus berubah sambil tetap menjaga inti kemanusiaannya.
Guru, kurikulum, serta lingkungan sekolah memainkan peran penting dalam memastikan bahwa nilai-nilai moral dan karakter tidak hilang akibat perkembangan digital, melainkan justru menemukan wujud yang lebih sesuai dengan konteks dan makna yang lebih dalam. Wallahu a’lam Bisshowab.