10drama.com –, Jambi– Setelah mengunjungi Desa Pelakar Jaya, Kabupaten Merangin pada Minggu 20 Juli, pada Rabu 23 JuliTempotelah berada di Desa Dwi Karya Bhakti, Kabupaten Bungo. Di tempat ini terdapat Juliana, berusia 23 tahun. Ia adalah lulusan pertama dariSuku Anak Dalam atau orang rimba.
Baca berita sebelumnya: Tidak Ada Lagi Hutan dan Segala Isinya, Ini Cara Suku Anak Dalam Sekarang Bertahan Hidup
Menjadi seorang lulusan perguruan tinggi, dan sebelumnya memilih mengikuti pendidikan formal hingga jenjang universitas, bukanlah keputusan yang mudah bagi Juliana. Ia yang memperoleh manfaat dari jalur pendidikan ini tidak mendapatkan dukungan yang besar dari komunitas masyarakat adat setempat.
Juliana mengungkapkan keyakinan bahwa pendidikan tinggi tidak akan bertentangan dengan adat dan tradisi Suku Anak Dalam yang sebelumnya dikenal hidup secara nomaden di dalam hutan. Sebenarnya, Juliana menyampaikan, “Saya kuliah bukan untuk menentang adat, tetapi untuk menjaga adat kami melalui ilmu.”
Itulah alasan Juliana memutuskan untuk mengambil jurusan Kehutanan di Universitas Muhammadiyah Jambi sebagai fokus pendidikannya. Dengan dukungan orang tua, Juliana menjalani studinya sejak tahun 2020, meskipun ia mengakui bahwa sulit bagi dirinya untuk beradaptasi tinggal di tengah perkotaan. “Jauh dari komunitas orang hutan…,” katanya.
Juliana kini telah meraih gelar sarjana, namun tantangan masih berlanjut karena dia dinilai belum mampu memperoleh pekerjaan yang stabil. Omongan negatif masih terdengar dari komunitas tertentu, “pendidikan tinggi sia-sia saja karena belum bekerja.”
Namun Juliana memilih diam. “Saya tetap akan memberikan semangat kepada saudara-saudara Suku Anak Dalam yang lain,” katanya.
Ia merasa lebih tertantang dalam usahanya saat ini menghilangkan stigma bahwa hasil olahan ikan asap dari Orang Rimba kurang higienis. Juliana menjelaskan upayanya untuk memperkenalkan produk tersebut sekaligus menjaga tradisi pengawetan makanan yang telah ada di komunitasnya selama ini.
Pada hari itu, Juliana ditemukan di tepi kolam yang berukuran 20×20 meter. Juliana bersama beberapa perempuan dari Suku Anak Dalam sedang menarik jaring yang berisi ikan patin dari kolam yang mampu menampung 3 ribu ekor ikan. Hasil tangkapan ikan patin ini akan diolah menjadi ikan asap.
Juliana juga memimpin dan mengembangkan kelompok perempuan yang diberi nama Mina Hasop Eluk. “Kami menjual satu bungkus ikan asap dengan berat satu ons seharga Rp 20 ribu,” ujarnya.
Sampai saat ini, Mina Hasop Eluk telah memiliki izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) berupa sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga untuk produk ikan asapnya. Selanjutnya, sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sedang dalam proses pengurusan. Tujuannya adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat serta memperluas pasar dari hasil olahan ikan asap milik Suku anak Dalam.
“Kami menitipkan barang dagangan di toko-toko lokal atau mempromosikannya dalam pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat,” kata Juliana.
Di masa depan, Juliana dan timnya berharap, produk ikan asap dari Suku Anak Dalam mampu masuk ke minimarket dan toko oleh-oleh khas Jambi. “Namun tantangannya adalah kami perlu memproduksi dalam jumlah besar.”
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bungo, Quswen Ikmal, menyetujui keputusan Juliana. Ia berkomitmen untuk terus mendukung pemasaran produk olahan ikan asap Suku Anak Dalam dalam berbagai pameran.
Menurutnya, tantangan utama justru datang dari prasangka negatif masyarakat terhadap komunitas orang rimba. Jumlah penduduk komunitas ini diperkirakan tersisa 5.750 jiwa atau 1.477 kepala keluarga di seluruh Jambi—dan semakin terdesak olehalih fungsi hutan.
“Stigma terkait kebersihan masih sangat kuat. Ini adalah tugas besar bagi kita semua untuk mempromosikannya,” kata Qusween saat diwawancarai di Kantor Bappeda Kabupaten Bungo pada Kamis, 24 Juli 2025.