Indeks

Starlink Hentikan Pendaftaran Pelanggan Baru di RI Akibat Kapasitas Habis

Teknologi -, JAKARTA — Starlink, satelit orbit rendah (LEO) milikElon Musk, memutuskan untuk berhenti menerima pelanggan baru di Indonesia karena kapasitas yang tersedia sudah penuh.

Perusahaan dinilai terlalu fokus pada pelayanan pelanggan perkotaan dan daerah yang memiliki potensi tinggi dalam akses fiber optik, serta lalai dalam menjalankan misi teknologi satelit yaitu, menyebarkaninternetke wilayah yang sulit dijangkau oleh kabel optik.

SpaceXmenyampaikan bahwa layanan Starlink saat ini tidak menerima pelanggan baru di Indonesia karena kehabisan kapasitas. Sebagai infrastruktur penyedia internet berbasis satelit, Starlink memiliki batasan kapasitas dalam menyediakan akses internet kepada pengguna.

Pada bulan Juni 2024, layanan internet Starlink yang dikelola oleh Elon Musk dengan sistem satelit orbit bumi rendah diharapkan mampu menyediakan kapasitas data hingga 23,7 Terabits per detik (Tbps), melebihi kemampuan satelit LEO lainnya seperti OneWeb.

Berdasarkan penjelasan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) saat mengunjungi Bisnis Indonesia, setiap satelit Starlink memiliki kapasitas total throughput sebesar 23,7 Terabits per detik (Tbps). Di sisi lain, OneWeb memiliki perkiraan kapasitas sekitar 1,56 Tbps per satelit. Sementara itu, Telesat menyediakan kapasitas sebesar 15 Tbps per satelit.

Starlink memiliki kecepatan internet tertinggi. Namun, hal ini tidak menjamin bahwa kapasitas yang tersedia cukup jika jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat.

Dilaporkan dari situs resmi Starlink, Minggu (13/7/2025), perusahaan mengumumkan bahwa pemasangan perangkat baru juga dihentikan sementara bagi pelanggan yang membeli melalui toko ritel atau penjual pihak ketiga.

“Starlink saat ini tidak menerima pelanggan baru di wilayah Anda karena seluruh kapasitasnya telah terjual habis di seluruh Indonesia,” tulis Starlink.

Pada bulan September 2024, Elon Musk menyatakan bahwa Starlink telah memberikan akses internet kepada 4 juta penduduk di 100 negara. Jumlah pengguna terus meningkat meskipun kapasitas masih terbatas.

Baru-baru ini, SpaceX sedang mengusahakan pendanaan hingga Rp6,5 triliun, salah satunya guna mengatasi keterbatasan kapasitas satelit yang semakin meningkat.

Selanjutnya, pelanggan di Indonesia dapat melakukan setoran untuk mendaftar dalam daftar antrian atau melakukan pemesanan terlebih dahulu. Setelah itu, pelanggan yang mengikuti pemesanan terlebih dahulu akan segera mendapatkan notifikasi ketika layanan kembali tersedia.

“Harap diketahui bahwa kami tidak bisa memberikan estimasi waktu ketersediaan, namun tim kami sedang berkolaborasi dengan pihak berwenang untuk segera menyediakan layanan Starlink di Indonesia,” tulis Starlink.

Wilayah Gemuk

Di sisi lain, Ketua Pusat Studi Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengakui telah memprediksi lama akan ‘bencana’ ini.

Kapasitas jaringan Starlink terbatas dan akan mencapai batas maksimalnya, sehingga tidak mampu lagi memberikan layanan kepada masyarakat.

Dia mengatakan langkah Elon Muskmenghalangi masyarakat dalam mengikuti layanan Starlink, sangat merugikan rakyat Indonesia.

Di sisi lain, ia juga meragukan komitmen terhadap izin dan frekuensi yang diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), mengingat Starlink tidak mampu menyediakan layanan secara merata di seluruh wilayah Indonesia karena kapasitasnya cepat habis atau penuh.

Dengan harga perangkat mulai dari Rp4,6 juta untuk paket standar dan biaya layanan sekitar Rp750.000 per bulan, menurut Ian, Starlink hanya menargetkan daerah-daerah padat penduduk, bukan wilayah pedesaan yang sulit dijangkau oleh kabel optik jika pemerintah tidak menerapkan kewajiban USO kepada Elon Musk.

USO (Universal Service Obligation) merupakan inisiatif pemerintah yang bertujuan menyediakan layanan telekomunikasi dan informasi dasar, seperti internet, di wilayah terpencil, perbatasan, serta daerah yang sulit dijangkau oleh layanan komersial.

Pihak penyelenggara internet yang beroperasi di Indonesia wajib berpartisipasi dalam agenda tersebut.

“Seharusnya memang ada kewajiban dalam USO. Harus diperiksa kembali apakah kewajiban tersebut telah dilaksanakan?” ujar Ian.

Ian juga memprediksi dampak dari kebijakan Elon Musk, kemungkinan pembangunan pusat tidak akan tercapai, cakupan seluruh wilayah tidak akan terwujud, pendapatan negara akan menurun dan tidak sesuai dengan izin pelabuhan yang diberikan.

“Seharusnya sejak awal sudah ditentukan berapa jumlah trafik yang akan diberikan ke Indonesia. Ini disebabkan oleh semua sistem yang tidak dibangun di dalam negeri. Penjual perangkat VSAT di Indonesia yang belum terjual, menjadi tidak bernilai. Perlu dilakukan peninjauan kembali mengenai izin labuh dan kewajibannya; perlu dilihat bandwidth yang diberikan sesuai dengan jumlah trafik yang ada,” ujar Ian.

Sementara itu, Kepala Bidang Media Asosiasi Satelit Indonesia (Assi), Firdaus Adinugroho, menyarankan kepada pengguna Starlink—baik yang sudah menggunakan maupun yang berencana menggunakan—untuk menunggu informasi lebih lanjut mengenai langkah teknis dan kebijakan dari penyedia layanan serta otoritas terkait.

Ia juga mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kapasitas yang tersedia dari penyedia layanan satelit global seperti Starlink dialokasikan terlebih dahulu guna mendukung koneksi di daerah-daerah yang belum terjangkau, khususnya wilayah 3T.

“Prinsip keadilan akses dan pemerataan digital tetap harus menjadi dasar utama dalam setiap kebijakan konektivitas nasional. Pada saat yang sama, Assi juga mendorong perlindungan serta penguatan industri satelit nasional agar tetap memiliki ruang berkembang yang adil dan berkelanjutan, guna menjaga kedaulatan serta ketahanan infrastruktur digital Indonesia,” ujar Daus.

Daus juga menyebutkan bahwa hukum ekonomi, khususnya hukum penawaran dan permintaan (supply and demand), berlaku di mana pun, termasuk dalam kasus Starlink.

“Jadi ketika permintaan tinggi dan pasokan Starlink terbatas, harga layanannya bisa meningkat,” kata Firdaus.

Firdaus menekankan bahwa terdapat batasan dalam penerapan peraturan tersebut, mengingat Starlink memiliki pesaing di pasar Indonesia. Keberadaan penyedia layanan satelit dan internet lainnya di Indonesia menjadi faktor yang membatasi Starlink dalam menaikkan harga secara mandiri.

Jika harga layanan Starlink meningkat terlalu signifikan, pelanggan bisa beralih ke penyedia layanan sejenis. Selain itu, pengguna Starlink biasanya memiliki kontrak layanan yang mengikat.

“Di dalam kontrak tersebut, biasanya dijelaskan secara detail apakah perusahaan diperkenankan mengubah biaya layanan selama masa berlakunya kontrak atau tidak,” ujar Daus.

Kepala Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyatakan bahwa bila kapasitas sudah penuh, seharusnya penerimaan pelanggan baru dihentikan sementara hingga tersedia kembali ruang yang cukup.

“Karena jika dipaksa, konsumen akan merugi tanpa mendapatkan layanan yang sesuai dengan kualitas yang dijanjikan,” kata Heru.

Heru menyampaikan bahwa dengan penghentian sementara ini, pelanggan tidak akan mengalami penurunan kualitas karena beban jaringan yang berlebihan.

Selain itu, menurut Heru, dengan tidak lagi menargetkan pelanggan baru, pasar internet Indonesia semakin bersaing.

Pembatasan Starlink memberi peluang kepada penyedia layanan lain, baik dari bidang satelit maupun seluler, untuk menawarkan alternatif solusi kepada masyarakat yang memerlukan koneksi internet.

“Ini menjadi kesempatan bagi pemain lain seperti satelit dan seluler untuk menawarkan layanan,” ujar Heru.

Exit mobile version